BUDAYA MAHASISWA

 







Kecerdasan dalam mengolah emosi secara efektif guna mencapai tujuan ini penting karena pengolahan emosi yang baik akan mendukung kesuksesan dalam hidup seseorang.  Kecerdasan mengolah emosi ini membuat seseorang lebih peka terhadap emosi orang lain yang tidak bisa didapatkan dengan membaca, tapi harus dilatih dengan berkomunikasi, berinterkasi secara intens dan yang paling mudah dengan berorganisasi. 


Dalam organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat belajar bagaimana memahami orang lain dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial serta mampu berfikir kreatif dalam mencapai visi dan misi organisasi. Berbekal pengalaman di organisasi inilah mahasiswa kemudian akan memiliki kecerdasan sosial dan ketangkasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan..

 

Kita sering berhadapan dengan situasi yang tidak ideal dan berhari-hari rdiskusi bagaimana merubahnya, kita juga pernah merasa  terancam dan berjuang untuk menghadapinya berdasarkan nilai-nilai yang kita yakini kebenarannya. Pernah dikhianati, kecewa, gagal dan berusaha kuat untuk merebut keberhasilan bersama. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat mahal yang tanpa kita sadari turut membentuk karakter kita hari ini.


Pengalaman ketika berorganisasi ini membuat saya masih terus berjuang memberi makna bagi diri saya sendiri dan orang lain sampai saat ini. Membangun kesadaran apa yang kita lakukan ketika menjadi mahasiswa akan berpengaruh besar pada pencapaian kita ketika kita hidup di tengah masyarakat. Karena mahasiswa adalah agent of change yang menentukan nasib masyarakat, bangsa, negara dan agama di masa yang akan datang.


Dan yang berbahaya dari budaya mahasiswa adalah pragmatisme dan hedonisme. Dua budaya yang bersumber dari filsafat Barat ini disebut-sebut oleh sebagaian kalangan sebagai dampak dari perkembangan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang turut membentuk pandangan hidup masyarakat Indonesia. 


Pragmatisme mementingkan sisi praktis dalam mewujudkan keinginan dibandingkan sisi manfaatnya, lebih mementingkan hasil akhir daripada proses dan nilai nilai moral sehingga dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan ini memang sudah menjadi trend di kalangan Gen-Z yang saat ini menjadi mahasiswa dan sarjana.  


Generasi ini ingin mendapatkan sesuatu secara instan. Ingin tahu agama cukup melihat ceramah-ceramah di Youtube, mengetahui infomasi mengandalkan WAG dan facebook, mengerjakan tugas kuliah cukup dengan browsing artikel dan atau skripsi di internet yang penting nilai bagus dan dapat lulus tepat waktu. Padahal dulu kita ketika kuliah, mau lulus saja harus berdiskusi dengan senior dan teman.  


Di sisi lain generasi ini disebut oleh para pakar lebih materialistik ketimbang generasi sebelumnya. Sehingga tidak heran mereka berlomba-lomba membuat channel youtube bermimpi mendapatkan follower yang dan mendapatkan uang dengan cara mudah melalui berbagai content hoaks dan membuat content yang aneh-aneh padahal tidak informatif dan tidak mendidik.


Lebih parah lagi pragmatisme ini dikawinkan dengan budaya hedonistik yang beranggapan bahwa tujuan utama kehidupan adalah mendapatkan kesenangan dan kenikmatan. Karena budaya ini akan membuat mahasiswa terlena dengan berbagai aktifitas yang penting asik, membuang-buang waktu untuk bersenang-senang dan menghambur-hamburkan uang. Akibatnya, banyak mahasiswa yang gagal dalam perkuliahan dan membuat susah plus malu keluarga karena terlibat jaringan narkotika  dan harus menikah awal karena telah terjadi “kecelakaan sejarah”.


Comments

Popular posts from this blog

HokBen di Kota Batam

Kampung Nelayan Buffet Ramadhan

Mahkamah Agung Republik Indonesia