Mengkaji Ulang Kembali

 





Persoalan radikalisme pada akhirnya tidak melulu soal pemahaman agama yang melenceng dari kaidah sosial. Sejatinya Agama tidak pernah mengajarkan untuk menjadi teroris, hanya meletakkan landasan perjuangan mempertahankan keyakinan di jalan Allah.


Selalu muncul pertanyaan, mengapa Indonesian yang mayoritas Muslim 20 tahun belakangan ini marak aksi radikalisme yang beraroma “perang Agama”. Dari Bom Bali berlanjut aksi Intoleransi lain hingga hari ini. Era Reformasi yang menjadi peralihan kepemimpinan dari orde baru, menjadi titik awal kekacauan harmonisasi bernegara.


Mari kita tarik mundur ke belakang, dimana peranan Geopolitik tidak bisa terpisahkan dari situasi negara terkait kepentingan antar negara.


Berawal dari salah satunya ajaran Khawarij yang melakukan perlawanan pada perjuangan khilafah di abad ke 7. Dinasti Utsmaniyah yang merupakan dinasti terakhir kekuasaan Khilafah tidak lantas membuat para khawarij berhenti berjuang. Hingga di pertengahan abad 20 lahirlah ajaran/ideologi Takfiri yang merupakan anak ideologi Khawarij.


Sekte Takfiri dalam perjuangannya tidak lagi memerangi kaum khilafah, tetapi lebih berorientasi ajaran halal dan haram. Sebuah ajaran yang menyempitkan pada pemahaman perilaku tertentu sesuai keyakinannya. Bagi yang berbeda perilaku dianggap kafir, dan kaum kafir dalam penafsiran Takfirisme harus disingkirkan dan diperangi.


Kelompok beraliran Takfiri menjelma menjadi banyak label/ nama/ ormas/ LSM tersebar di seluruh negara mayoritas Muslim. Ideologi ini menjadi eksklusif bagi pengikutnya, mereka yang hanya berfikir menjaga kesucian kitab dan ajaran dengan menolak ajaran, agama, keyakinan lain. Sampai di sini ideologi ini masih “baik baik saja”, belum menjadi aktifitas teroris yang mengancam banyak orang.


Beralih ke pengaruh revolusi industri yang berasal dari Eropa pada pertengahan abad 19, memaksa terjadinya penjajahan oleh negara pencetus revolusi industri ke negara lain, tak terkecuali Asia. Kepentingan perdagangan melahirkan imperialisme dalam berbagai sisi, tidak sekedar wilayah.


Gayung bersambut bagi Takfirisme yang menemukan lawan ideologinya. Inggris, Perancis, Spanyol dan tak ketinggalan Amerika sebagai negara Imperialis dianggap sekafir kafirnya bangsa. Garis demarkasi ideologi barat dan timur menjadi perseteruan abadi baik pengaruh maupun penguasaan wilayah.


Takfiri berkembang subur di negara Timur tengah sebagai upaya melepaskan diri dari penjajahan negara barat dan Eropa.


Perlawanan secara ideologi tidak serta merta membuat negara barat surut menjajah. Perang dingin Amerika dan Uni Soviet melahirkan babak baru dalam geopolitik. Afghanistan yang sempat menjadi salah satu “jajahan” Uni Soviet, berhasil membebaskan diri atas “jasa baik” Amerika.


Kaum Takfiri yang terkenal militan dipersenjatai Amerika dengan semangat provokasi memerangi kaum kafir. Menyusul Irak, Iran dan Libya yang sukses berperang saudara atas “skenario” Amerika dalam rangka Imperialisme ekonomi.


Amerika kembali mempersenjatai kaum Takfiri yang tersebar di negara timur tengah, untuk memberontak pada negaranya sendiri. Sekularisme yang berkembang di negara timur tengah menjadi isue primodial yang dihembuskan Amerika kepada Takfirisme yang bercita cita mendirikan negara Islam.


Mujahidin, Al Qaeda, Hamas, Hasbullah, ISIS sejatinya menjadi “investasi” politik Amerika di timur tengah. Secara tidak sadar mereka diciptakan untuk menjadi “pion-pion” Amerika.


Cara Amerika “unik” Amerika merebut sebuah negara dengan menciptakan perang saudara atas nama Agama. Amerika yang juga dianggap kafir, namun tidak menjadi target utama perjuangan mereka. Bagaimana mungkin juga mereka memerangi “sponsornya” sendiri?


Pertanyaannya, apa hubungannya geopolitik di timur tengah dengan Indonesia? Kembali ke persoalan ideologi Takfirisme.


“Monster-monster” teroris pemberontak ciptaan Amerika dan sekutunya sebagian di ekspor ke Indonesia menjadi kelompok anti pemerintah.


Usai “kehilangan” Soeharto yang nota bene anak emas Amerika, Indonesia boleh dikata terindikasi berupaya lepas dari pengaruh hegemoni Barat. Para alumni perang Afghanistan, Al Qaeda, Mujahidin dan ISIS didatangkan, dibiayai, difasilitasi untuk membentuk kelompok-kelompok radikal dalam upaya kepentingan Amerika. Mereka yang berjuang atas nama agama, namun secara tidak langsung menerima dollar sebagai logistik aksi mereka.


Persatuan kaum muslim memerangi kaum kafir (tak terkecuali Amerika) menjadi 2 kepentingan yang bersenyawa. Ideologi agama yang bertemu dengan intrik Imperialisme Amerika. Jika ada perang saudara di satu negara yang ingin mendirikan negara Islam, bisa dipastikan ada campur tangan Amerika di belakangnya.


Yaman dan Suriah salah satu bukti nyata proyek penghancuran sebuah negara.


Kesimpulannya : Memerangi radikalisme di Indonesia sama halnya memerangi campur tangan Amerika. Saat kepentingan Amerika terganggu karena kebijakan pemerintah yang sepihak tanpa persetujuan Amerika, maka kelompok radikal mendapat proyek besar berbiaya unlimited.


Dan… periode kepemimpinan Jokowi termasuk era paling sengit mengatasi radikalisme “pesanan” Amerika. Jika sampai detik ini Indonesia yang meskipun sudah “compang-camping” masih tetap utuh bernama NKRI, itu tandanya mayoritas Muslim masih sepakat Indonesia bukan negara Islam.


Pahami narasi ini sebagai upaya melawan narasi radikalisme yang ada di medsos. Fakta membuktikan, perang saudara di Suriah berawal dari provokasi, propaganda dan hoax di medsos. Tidak mustahil itu terjadi juga pada saat kita diam saja tak kuasa melawan keleluasaan komunikasi yang “gila” ini.


Comments

Popular posts from this blog

HokBen di Kota Batam

Kampung Nelayan Buffet Ramadhan

Mahkamah Agung Republik Indonesia