SOPAN, BUKAN AROGAN






H. Mochtar Lubis dikenal sebagai wartawan kepala batu. Batu granit, saking kerasnya. Dia pengritik tajam pejabat negara dan kebijakan pemerintah yang merasai masuk penjara, baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Harian "Indonesia Raya" yang dikelolanya sejak 1950 ditutup penguasa 1974 hingga dia tak menerbitkan media lagi sampai akhir hayatnya di usia 82.


Mereka yang mengenal almarhum Mochtar Lubis (1922 - 2004) dari dekat - beberapa kali saya ketemu dan mendengar ceramahnya (pen.) - tak ada sikap arogan pada dirinya. Dia seorang sastrawan dan pelukis. Dalam dialog, dia datar datar saja. Nyaris tanpa emosi. Dia mengritik budaya Jawa yang feodal lewat buku dan ceramah di TIM dengan tenangnya. 


H. Rosihan Anwar (1922 - 2011) juga dikenal sebagai jurnalis kawakan yang kerap mengritik pemerintah, hingga kehilangan medianya. Harian "Pedoman" yang didirikannya 1958 tutup dan tak terbit lagi dalam peristiwa Malari 1974. 


Tapi, Bung Cian atau Haji Wa'ang - panggilan akrab dan sebutannya, dikenal humoris dan sesekali sinis. Arogan? Sama sekali tidak. Dia menunjukkan ketidaksukaannya pada pejabat dengan cara khas; melucu. Itu pun hanya di kalangan internal wartawan sendiri. 


Goenawan Mohamad juga wartawan, sastrawan, pendiri media yang keras dan kritis. Majalah Mingguan Berita "Tempo" dibredel berkali kali. Tulisannya sangat mendalam dan sastrawi. Tapi apakah dia arogan? Sama sekali tidak. 


Jangan kata lagi Jacob Oetama (1931 - 2020), penerus "Kompas" yang didirikannya bersama PK Ojong. Beliau dikenal sebagai priyayi dan pendidik, yang sangat halus dan santun bicaranya. Tokh, harian "Kompas" pernah kena bredel juga karena dianggap keras dan melawan pemerintah. 


Mau menyebut nama lain, BM Diah, Atang Ruswita, Harmoko, Sofyan Lubis, HG Rorimpandey, Tuti Jaya Azis, Djaffar Assegaf, Aristides Katopo, Dahlan Iskan, yang semua telah melegenda, semua santun. Sopan. 


ADA dua, setidaknya, anekdot populer tentang kewartawanan. Pertama, wartawan "makhluk paling bodoh di dunia" karena kerjanya selalu bertanya. Alias nanya melulu. Karena itu, mestinya tak ada alasan wartawan bikin pernyataan yang sok tahu dan sok menghakimi. Apalagi merasa benar sendiri. Main tuding pula .  


Kedua, wartawan itu "songong", kerjanya "nyodok nyodok" pemimpin dan pejabat. Yang terakhir ini disampaikan oleh almarhum mertua saya - yang orang Betawi - dengan nada gurau lantaran wartawan gemar menyodorkan mic dan kaset rekaman kepada menteri dan pejabat lainnya saat berebutan minta pernyataan - sebagaimana yang kerap dilihatnya di TVRI era tahun 1990an. 


Yang dimaksud "songong" adalah tidak sopan, sedangkan "nyodok" sengaja mendesak desak.


Jadi, menurut beliau, wartawan itu musti punya adab juga. Apakah menjadi "makhluk bodoh" atau suka nyodok minta pernyataan pejabat, wartawan tidak boleh "songong".


MAKA saya sungguh tak mengerti kepada siapa, orang yang mengaku diri wartawan itu merujuk, mereferensi diri - ketika bersikap arogan petentengan, memaki maki, merasa paling benar, menuding nuding dan menista daerah di Indonesia sebagai "jin buang anak". 


Di Timur Tengah memang ada wartawan yang melempar sepatu ke wajah George Bush Jr. - dalam acara jumpa pers. Apakah dia rujukannya? Pakai gaya Timur Tengahan ala peradaban gurun pasir itu? 


Sesungguhnya sifat arogansi melekat pada semua manusia dan ada pada siapa saja. Termasuk wartawan. Bedanya apakah perlu ditunjukkan atau tidak? Juga bagaimana cara menunjukkan dan seberapa kadarnya. 


Arogansi pada diri wartawan sudah diikat oleh kode etik profesi - sebagaimana dokter, pengacara, akuntan serta para profesional lainnya. 


Di dunia wartawan kita, ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai landasan kerja jurnalis/wartawan - khususnya anggota PWI. Dalam pasal pasalnya ditegaskan wartawan tidak boleh menghakimi, menghina orang dan bersikap profesional serta tidak mencampur-adukkan fakta dan opini. 


Wartawan juga dituntut untuk menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Segera mengoreksi bila membuat kesalahan.


Hal yang lebih penting: wartawan tidak kebal hukum. Kewartawan tidak menjadikan pelakunya bebas dari tuntutan hukum. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku.


SEBAGAI orang media, yang lama meliput di lapangan dan kerja di perusahaan media, dan masih pegang kartu PWI - tidak ada pembelaan saya pada orang yang mengaku diri sebagai "wartawan senior" itu - yang konon anggota PWI juga - tapi arogan dan menghina bumi Kalimantan. Bumi Nusantara. Tanah air saudara saudara sebangsa. 


Kalau menghina dan dilaporkan ke polisi, ya, berhadapan dengan hukum. Kalau ngeyel ya silakan berhadapan dengan cara cara di luar hukum atau aturan adat. 


Nggak ada lah solidaritas profesi ("Esprit de Corps") buat yang ngaku diri jurnalis tapi sombongnya nyundul langit gitu. 


Kalau dia wartawan, dia yang mencatat bukan dia yang bicara. Kalau jurnalis dia jadi peserta jumpa pers, bukan menggelar jumpa pers - sembari menuduh dan menuding nuding. Membentak bentak. Kalau ada pihak yang tersinggung ya dia tanggung akibatnya.


Kalau dia menghina warga dan bumi Kalimantan atas nama wartawan, ya, memang wartawan sialan. Merusak profesi. Gak punya adab! Nggak ada akhlak! Musti dibui. Atau mati aja dah! 

 

Sekarang ini ; mau diborgol, dirajam atau dipancung atau dimandau hingga putus lehernya - silakan saja. 

Comments

Popular posts from this blog

HokBen di Kota Batam

Kampung Nelayan Buffet Ramadhan

Mahkamah Agung Republik Indonesia